BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pada prinsipnya jurnalistik merupakan cara kerja media massa dalam mengelola dan menyajikan informasi kepada khalayak ramai, yang tujuannya adalah untuk menciptakan komunikasi yang efektif, dalam arti menyebarluaskan informasi yang diperlukan.
Namun pada era global ini, persaingan yang ketat membuat beberapa pemilik media mengahalalkan segala cara. Banyak media massa terutama koran yang menerbitkan karya jurnalistik yang tidak sesuai dengan aturan yang telah disepakati dalam kode etik jurnalistik.
Padahal jika dikaji lebih luas, hal ini bisa dijadikan peluang untuk berkarya lebih unggul dari yang lainnya. Karena, profesi sebagai jurnalis tidak harus mencelakakan orang lain. Tentunya dalam hal ini dilihat dari segi pemberitaan.
Oleh sebab itu, pernyataan di atas menjadi sorotan yang menarik. Maka permasalahan ini yang melatar belakangi penulisan makalah.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa permasalah di bawah ini, sebagai berikut:
a. Apa yang dimaksud dengan etika, moral, akhlak, dan hukum?
b. Apa yang dimaksud dengan profesi, etika profesi, kode etik profesi?
c. Apa yang dimaksud dengan etika jurnalistik dan bahasa jurnalistik?
1.3. Tujuan dan Manfaat
Penulisan makalah ini memiliki tujuan dan manfaat sebagai berikut:
1.3.1. Tujuan Penelitian
Berikut ini tujuan penulisan makalah:
a. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan etika, moral, akhlak, dan hukum.
b. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan profesi, etika profesi, kode etik profesi.
c. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan etika jurnalistik dan bahasa jurnalistik.
1.3.2. Manfaat Penelitian
Di bawah ini merupakan manfaat penelitian, diantaranya:
a. Dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan etika, moral, akhlak, dan hukum.
b. Dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan profesi, etika profesi, dan kode etik profesi.
a. Dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan etika jurnalistik dan bahasa jurnalistik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Etika, Moral, Akhlak, dan Hukum
2.1.1. Etika
2.1.1.1. Pengertian Etika
Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak) (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:383). Sedangkan Suseno (1987) dalam Dewangga (2012) mengatakan bahwa etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral. Kattsoff (1986) dalam Dewangga mengungkapkan etika sebenarnya lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan tingkah laku manusia. Priatna (2012: 103) juga mengungkapkan bahwa etika adalah aturan perilaku adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.
Namun jika dikaji lebih dalam lagi Budiman (2012) dalam artikelnya menerangkan bahwa istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.
Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).
2.1.1.2. Fungsi Etika
Fungsi etika (Budiman, 2012):
• Sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan pelbagai moralitas yang membingungkan.
• Etika ingin menampilkan ketrampilan intelektual yaitu ketrampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis.
• Orientasi etis ini diperlukan dalam mengabil sikap yang wajar dalam suasana pluralisme.
2.1.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelanggaran Etika
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelanggaran etika (Budiman, 2012):
• Kebutuhan Individu
• Tidak Ada Pedoman
• Perilaku dan Kebiasaan Individu Yang Terakumulasi dan Tak Dikoreksi
• Lingkungan Yang Tidak Etis
• Perilaku Dari Komunitas
2.1.2. Moral
Moral merupakan (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008: 929).
Kata moral sebenarnya (Dilihatya, 2014) berasal dari bahasa Latin mores yang bermakna adat kebiasaan atau suatu cara hidup. Kemudian dalam E-Jurnal (2013) dijelaskan beberapa pengertian moral menurut para ahli, diantaranya:
1. W. J. S. Poerdarminta menyatakan bahwa moral merupakan ajaran tentang baik buruknya perbuatan dan kelakuan.
2. Dewey mengatakan bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai susila.
3. Baron dkk. Mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar.
4. Magnis-Susino mengatakan bahwa moral selalu mengacu pada pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia.
Nilai moral dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu ajaran agama, adat istiadat dan ideologi.
Nilai moral bersumber agama
Kepatutan yang bersumber pada agama, sehingga hal ini tergantung dari ajaran masing-masing agama contohnya adalah mencuri, berdusta, ingkar janji, menfitnah, tindakan asusila dan lain-lain.
Nilai moral bersumber adat istiadat
Kepatutan yang bersumber adat istiadat, contohnya adalah tidak duduk diatas orang yang lebih tua.
Nilai moral bersumber dari ideologi
Kepatutan yang bersumber dari ideologi atau paham seseorang, misalnya seseorang bersihkukuh agar tidak merokok selama hidupnya.
2.1.3. Akhlak
Akhlak adalah budi pekerti; kelakuan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008: 27). Secara etimologi (Welano, 2014) akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, jama’nya khuluqun yang berarti perangai (al-sajiyah), adat kebiasaan (al’adat), budi pekerti, tingkah laku atau tabiat (ath-thabi’ah), perbedaan yang baik (al-maru’ah), dan agama (ad-din).
Sedangkan pengertian akhlak secara terminologi dapat dilihat dari beberapa pendapat para ahli (Welano, 2014) :
a. Ibnu Maskawaih
Menyebutkan bahwa akhlak yaitu keadaan jiwa yang mendorong atau mengajak melakukan sesuatu perbuatan tanpa melalui proses berpikir, dan pertimbangan terlebih dahulu.
b. Prof. Dr. Ahmad Amin
Akhlak menurut Prof. Dr. Ahmad Amin yaitu suatu ilmu yang menjelaskan baik dan buruk, menerangkan yang harus dilakukan, menyatakan tujuan yang harus dituju dan menunjukkan apa yang harus di perbuat.
c. Didalam buku akhlak dalam berbagai dimensi, akhlak yaitu sifat-sifat
yang berurat berakar dalam diri manusia, serta berdasarkan dorongan dan pertimbangan sifat tersebut, dapat dikatakan bahwa perbuatan tersebut baik atau buruknya dalam pandangan manusia.
2.1.4. Hukum
Hukum adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:510).
Hukum (Andri, 2014) adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol , hukum adalah aspek terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan, Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarat berhak untuk mendapat pembelaan didepan hukum sehingga dapat di artikan bahwa hukum adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi bagi pelanggarnya.
2.2. Profesi, Etika Profesi, dan Kode Etik Profesi
2.2.1. Profesi
Profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan keterampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, didalamnya pemakaian dengan cara yang benar akan keterampilan dan keahlian yang tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan dengan ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia, kecenderungan sejarah dan lingkungan hidupnya: serta adanya disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh kelompok anggota yang menyandang profesi tersebut (Hikmat, 2011: 18).
Sobur (2001) dalam Hikmat (2011:18), menyimpulkan bahwa profesi mengandung arti suatu pekerjaan dengan keahlian khusus yang menuntut adanya pengetahuan luas dan tanggung jawab diabdikan untuk kepentingan orang banyak, mempunyai organisasi atau asosiasi profesi dan mendapatkan pengakuan masyarakat serta mempunyai kode etik.
Secara umum suatu kegiatan disebut profesi kalau memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Untuk mencapainya mensyaratkan pelatihan.
Biasanya pelatihan diikuti oleh orang yang sudah memiliki gelar sarjana, seperti untuk menjadi seorang pengacara, maka seorang sarjana hukum harus mengikuti pelatihan tertentu sehingga memiliki sertifikat atau menjadi seorang apoteker dan profesi lainnya. Walaupun begitu ada juga beberapa profesi yang langsung melekat sesuai gelar kesarjanaannya karena dalam kurikulum pendidikan tingginya diberikan juga materi teknis sebagaimana pelatihan.
2. Pelatihan tersebut meliputi komponen intelektual yang signifikan dengan latar belakang pendidikannya.
3. Setiap orang yang sudah mengikuti pelatihan mampu memberikan jasa yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Profesi berorientasi memberikan jasa untuk kepentingan umum daripada kepentingan sendiri.
4. Untuk profesi tertentu diperlukan proses lisensi atau sertifikasi sehingga setiap orang yang mengaku berprofesi tertentu akan memiliki sertifikat.
5. Suatu profesi biasanya membentuk ikatan organisasi tempat bernaungnya orang-orang yang seprofesi.
Jonhson (1991) dalam Hikmat (2011: 19) mengemukakan enam kriteria untuk bidang pekerjaan yang disebut sebagai profesional : Keterampilan yang didasarkan pada pengetahuan teoretis; penyediaan pelatihan dan pendidikan; pengujian kemampuan anggota; adanya organisasi; kepatutan kepada suatu aturan main profesional; dan jasa-jasa yang sifatnya altruistik. Elliott (1972) dalam Hikmat (2011: 19) menyodorkan tujuh kriterian profesional : pengetahuan yang digunakan bersifat luas dan teoretis; tugas yang dilakukan berada dalam situasi yang tidak rutin; keputusan yang dibuat sifatnya tidak terprogram, sebaliknya didasarkan atas tujuan-tujuan yang dibuat; identitasnya didukung oleh kelompok profesi; pekerjaan merupakan basis untuk mencapai tujuan; pendidikan bersifat ekstensif; dan peran yang dijalankan bersifat total.
Rismawati (2008) dalam Hikmat (2011: 19) merinci ciri-ciri profesional sebagai berikut :
a. Memiliki skill atau kemampuan, pengetahuan tinggi yang tidak dipunyai oleh orang umum lainnya;
b. Mempunyai kode etik yang merupakan standar moral bagi setiap profesi yang dituangkan secara formal, tertulis dan normatif dalam bentuk aturan main;
c. Memiliki tanggung jawab profesi (responsibility) dan intregitas pribadi (integrity) baik terhadap dirinya maupun terhadap publik;
d. Memiliki jiwa pengabdian terhadap publik atau masyarakat;
e. Otonomisasi organisasi profesional, yaitu memiliki kemampuan untuk mengelola, tidak tergantung pada pihak lain sekaligus dapat bekerja sama dengan pihak lain;
f. Menjadi anggota salah satu organisai profesi sebagai wadah untuk menjaga eksistensinya.
Sementara itu, Sobur (2001) dalam Hikmat (2011: 20) menyodorkan lima hal yang disarankan sebagai struktur sikap yang diperlukan bagi setiap jenis profesional, yakni :
1. Profesional menggunakan organisasi atau kelompok profesional sebagai kelompok referensi utama. Tujuan-tujuan dan aspirasi-aspirasi profesional bukanlah diperuntukan bagi seorang majikan atau setatus loka dari masyarakat setempat; kesetiaanya adalah pada bidang tugas.
2. Profesional melayani masyarakat. Tujuannya melayani masyarakat dengan baik. Ia altruistik, mengutamakan kepentingan umum.
3. Profesional memiliki kepedulian atau rasa terpanggil dalam bidangnya. Komitmen ini memperteguh dan melengkapi tanggung jawabnya dalam melayani masyarakat. Ia melaksanakan profesinya karena merasa komitmennya yang mendalam; dan ini menopanginya selama periode-periode pelatihan dalam penekanan secara berulang-ulang.
4. Profesional memiliki rasa otonomi. Profesional membuat keputusan-keputusan dan ia bebas untuk mengorganisasikan pekerjaannya di dalam kendala-kendala fungsional tertentu.
5. Profesional mengatur dirinya sendiri. Dalam hal kerumitan tugas dan persyaratan keterampilan, hanya rekan-rekan sepekerjaannya yang mempunyai hak dan wewenang untuk melakukan penilaian.
Berikut ini merupakan ciri-ciri dari profesi, yaitu :
1. Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis
Seorang professional harus memiliki pengetahuan teoretis dan keterampilan mengenai bidang teknik yang ditekuni dan bisa diterapkan dalam pelaksanaanya atau prakteknya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Asosiasi Profesional
Merupakan suatu badan organisasi yang biasanya diorganisasikan oleh anggota profesi yang bertujuan untuk meningkatkan status para anggotanya.
3. Pendidikan yang Ekstensi
Profesi yang prestisius biasanya memerlukan pendidikan yang lama dalam jenjang pendidikan tinggi. Seorang professional dalam bidang teknik mempunyai latar belakang pendidikan yang tinggi baik itu dalam suatu pendidikan formal ataupun non formal.
4. Ujian Kompetisi
Sebelum memasuki organisasi profesional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang menguji terutama pengetahuan teoretis.
5. Pelatihan institutional
Selain ujian, juga biasanya dipersyaratkan untuk mengikuti pelatihan istitusional dimana calon profesional mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh organisasi. Peningkatan keterampilan melalui pengembangan profesional juga dipersyaratkan.
6. Lisensi
Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa dipercaya.
7. Otonomi kerja
Profesional cenderung mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya intervensi dari luar.
8. Kode etik
Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar aturan.
9. Mengatur diri
Organisasi profesi harus bisa mengatur organisasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Profesional diatur oleh mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang berkualifikasi paling tinggi.
10. Layanan publik dan altruism
Diperolehnya penghasilan dari kerja profesinya dapat dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan publik, seperti layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat.
11. Status dan imbalan yang tinggi
Profesi yang paling sukses akan meraih status yang tinggi, prestise, dan imbalan yang layak bagi para anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap layanan yang mereka berikan bagi masyarakat.
2.2.2. Etika Profesi
Etika profesi menurut keiser dalam ( Suhrawardi Lubis, 1994:6-7 ) adalah sikap hidup berupa keadilan untuk memberikan pelayanan professional terhadap masyarakat dengan penuh ketertiban dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap masyarakat.
Prinsip dasar di dalam etika profesi :
1. Tanggung jawab
a. Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.
b. Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat pada umumnya.
2. Keadilan
Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya.
3. Prinsip Kompetensi, melaksanakan pekerjaan sesuai jasa profesionalnya, kompetensi dan ketekunan.
4. Prinsip Prilaku Profesional, berprilaku konsisten dengan reputasi profesi.
5. Prinsip Kerahasiaan, menghormati kerahasiaan informasi.
2.2.3. Kode Etik Profesi
Kode adalah sistem pengaturan-pengaturan (system of rule), sedangkan etik adalah norma perilaku (Atmadi, 1985) dalam (Hikmat, 2011: 15). Kode etik adalah daftar kewajiban dalam menjalankan tugas sebuah profesi yang disususn oleh anggota profesi dan mengikat anggota dalam menjalankan tugasnya. Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesi tertentu.
Suseno (1991) dalam Hikmat (2011:15) menyebut kode etik sebagai daftar kewajiban dalam menjalankan suatu profesi yang disusun oleh para anggota profesi itu sendiri dan mengikatnya dalam mempraktekannya. Dengan demikian, Sobur(2001) dalam Hikmat (2011: 15) menegaskan, kode etik merupakan tuntutan, bimbingan, atau pedoman moral atau kesusilaan untuk suatu profesi yang disusun oleh para anggota profesi itu sendiri dan mengikatnya dalam mempraktekannya.
Menurut Arifin, kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Tujuan kode etik agar suatu profesi memberikan jasa yang sebaik-baiknya kepada pemakai atau pasiennya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak proofesional.
Kode etik profesi adalah system norma, nilai dan aturan professional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi professional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Tujuan kode etik yaitu agar professional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Dengan adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak professional.
Tiga Fungsi dari Kode Etik Profesi
1. Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan
2. Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan
3. Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak diluar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi
2.3. Etika Jurnalistik dan Bahasa Jurnalistik
2.3.1. Etika Jurnalistik
Etika jurnalistik (Nugraha, 2011) adalah standar aturan perilaku dan moral, yang mengikat para jurnalis dalam melaksanakan pekerjaannya. Etika jurnalistik ini penting. Pentingnya bukan hanya untuk memelihara dan menjaga standar kualitas pekerjaan si jurnalis bersangkutan, tetapi juga untuk melindungi atau menghindarkan khalayak masyarakat dari kemungkinan dampak yang merugikan dari tindakan atau perilaku keliru dari si jurnalis bersangkutan.
2.3.2. Bahasa Jurnalistik
Menurut wojoasito (via anwar, 1984:1) dalam Sarwoko (2003:1), bahasa jurnalistik yang baik haruslah sesuai dengan norma tata bahasa yang antara lain terdiri atas susunan kalimat yang benar, pilihan kata yang cocok. Anton M. Moelyono (1994), yang konsultan pusat bahasa, pun mengatakan bahwa laras bahasa jurnalistik tergolong ragam bahasa baku.
Terbuktilah bahwa bahasa indonesia jurnalistik tidaklah berbeda dengan bahasa indonesia baku. Yang membedakan antara keduanya hanyalah penggunaannya. Karna digunakan sebagai media penyampaian informasi, bahasa yang digunakan di media masa memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan bahasa yang digunakan untik keperluan lain. Rosihan anwar (1984:1) mengatakan, “bahasa jurnalistik mempunyai sifat khas yaitu singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, dan menarik. Moeliono (1994) menambahi bahwa bahasa jurnalistik memiliki kekhasan diksi yang dicirikan oleh upaya ekonomi kata, kekhasan pengalimatan yang ditandai oleh pemendekan kalimat.
Atau, menurut jus badudu (1992:62), bahasa jurnalistik itu harus sederhana mudah dipahami, teratur, dan efektif. Bahasa yang sederhana dan mudah dipahami berarti menggunakan kata dan struktur kalimat yang mudah dimengerti pemakai bahasa umum. Bahasanya teratur berarti stiap kata dalam kalimat sudah ditempatkan sesuai kaidah. Efektif, bahasa pers haruslah tidaklah bertele-tele, tetapi tidak juga terlalu berhemat sehingga maknanya menjadi kabur.
Jadi bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan oleh pewarta atau media masa untuk menyampaikan informasi. Bahasa dengan ciri-ciri khas yang memudahkan penyampaian berita dan komunikatif.
Ciri Utama Bahasa Jurnalistik
Secara spesifik, bahasa jurnalistik dapat dibedakan menurut bentuknya, yaitu bahasa jurnalistik surat kabar, bahasa jurnalistik tabloid, bahasa jurnalistik majalah, bahasa jurnalistik radio siaran, bahasa jurnalistik televisi dan bahasa jurnalistik media online internet. Bahasa jurnalistik surat kabar, misalnya, kecuali harus tunduk kepada kaidah atau prinsip-prinsip umum bahasa jurnalistik, juga memiliki ciri-ciri yang sangat khusus atau spesifik. Hal inilah yang membedakan dirinya dari bahasa jurnalistik media lainnya.
Ada 17 ciri utama bahasa jurnalistik yang berlaku untuk semua bentuk media berkala tersebut, yaitu:
1. Sederhana
Sederhana berarti selalu mengutamakan atau memilih kata atau kalimat yang paling banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat heterogen, baik dilihat dari tingkat intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan psikografisnya.
2. Singkat
Singkat berarti langsung kepada pokok masalah (to the point), tidak bertele-tele, tidak berputar-putar, tidak memboroskan waktu pembaca yang sangat sederhana.
3. Padat
Padat berarti sarat informasi. Setiap kalimat dan paragraf yang ditulis memuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak pembaca.
4. Lugas
Luas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufemisme atau penghalusan kata dan kalimat yang bisa membingungkan khalayak pembaca sehingga terjadi perbedaan persepsi dan kesalahan konklusi.
5. Jelas
Jelas berarti mudah ditangkap maksudnya, tidak baur dan kabur. Jelas di sini mengandung tiga arti: jelas artinya, jelas susunan kata atau kalimatnya, jelas sasaran atau maksudnya.
6. Jernih
Jernih berarti bening, tembus pandang, transparan, jujur, tulus, tidak menyembunyikan sesuatu yang lain yang bersifat negatif seperti prasangka atau fitnah. Kata dan kalimat yang jernih berarti kata dan kalimat yang tidak memiliki agenda tersembunyi di balik pemuatan suatu berita atau laporan.
7. Menarik
Artinya mampu membangkitkan minat dan perhatian khalayak pembaca, memicu selera baca, serta membuat orang yang sedang tertidur, terjaga seketika.
8. Demokratis
Demokratis berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta, atau perbedaan dari pihak yang menyapa dan pihak yang disapa. Bahasa jurnalistik menekankan aspek fungsional dan komunal , sehingga sama sekali tidak dikenal pendekatan feodal sebagaimana dijumpai pada masyarakat dalam lingkungan priyayi dan keraton.
9. Populis
Populis berarti setiap kata, istilah, atau kalimat apapun yang terdapat dalam karya-karya jurnalistik harus akrab di telinga, di mata, dan di benak pikiran khalayak pembaca.
10. Logis
Artinya, apa pun yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat, atau paragraf jurnalistik harus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan akal sehat (common sense).
11. Gramatikal
Berarti setiap kata, istilah, atau kalimat apapun yang terdapat dalam karya-karya jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku.
12. Menghindari kata tutur
Kata tutur adalah kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari secara informal. Contoh: bilang, dibilangin, bikin, kayaknya, mangkanya, kelar, jontor, dll.
13. Menghindari kata dan istilah asing
Berita atau laporan yang banyak diselipi kata-kata asing, selain tidak informatif dan komunikatif, juga sangat membingungkan. Menurut teori komunikasi, media massa anonim dan heterogen, tidak saling mengenal dan benar-benar majemuk.
14. Pilihan kata (diksi) yang tepat
Bahasa jurnalistik sangat menekankan efektivitas. Setiap kalimat yang disusun tidak hanya harus produktif, tetapi juga tidak boleh keluar dari asas efektivitas. Artinya, setiap kata yang dipilih memang tepat dan akurat, sesuai dengan tujuan pesan pokok yang ingin disampaikan kepada khalayak.
15. Mengutakan kalimat aktif
Kalimat aktif lebih mudah dipahami dan lebih disukai oleh khalayak pembaca daripada kalimat pasif. Kalimat aktif lebih memudahkan pengertian dan memperjelas pemahaman. Sedangkan kalimat pasif sering menyesatkan pengertian dan mengaburkan pemahaman.
16. Menghindari kata atau istilah teknis
Karena ditujukan untuk umum, maka bahasa jurnalistik harus sederhana, mudah dipahami, ringan dibaca, tidak membuat kening berkerut apalagi sampai membuat kepala berdenyut. Bagaimanapun, kata atau istilah teknis hanya berlaku untuk kelompok atau komunitas tertentu yang relatif homogen. Realitas yang homogen, menurut perspektif filsafat bahasa, tidak boleh dibawa ke dalam realitas yang heterogen. Kecuali tidak efektif, juga mengandung unsur pemerkosaan.
17. Tunduk kepada kaidah etika
Salah satu fungsi utama pers adalah mendidik. Fungsi ini bukan saja harus tercermin pada materi isi berita, laporan gambar, dan artikel-artikelnya, melainkan juga harus tampak pada bahasanya. Pada bahasa tersimpul etika. Bahasa tidak saja mencerminkan pikiran seseorang, tetapi sekaligus juga menunjukkan etika orang itu. Sebagai pendidik, pers wajib menggunakan serta tunduk kepada kaidah dan etika bahasa baku.
BAB III
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak) (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:383).
2. Moral merupakan (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008: 929).
3. Akhlak adalah budi pekerti; kelakuan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008: 27).
4. Hukum adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:510).
5. Profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan keterampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, didalamnya pemakaian dengan cara yang benar akan keterampilan dan keahlian yang tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan dengan ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia, kecenderungan sejarah dan lingkungan hidupnya: serta adanya disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh kelompok anggota yang menyandang profesi tersebut (Hikmat, 2011: 18).
6. Etika profesi menurut keiser dalam ( Suhrawardi Lubis, 1994:6-7 ) adalah sikap hidup berupa keadilan untuk memberikan pelayanan professional terhadap masyarakat dengan penuh ketertiban dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap masyarakat.
7. Kode etik profesi adalah system norma, nilai dan aturan professional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi professional.
8. Etika jurnalistik (Nugraha, 2011) adalah standar aturan perilaku dan moral, yang mengikat para jurnalis dalam melaksanakan pekerjaannya.
9. Jadi bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan oleh pewarta atau media masa untuk menyampaikan informasi. Bahasa dengan ciri-ciri khas yang memudahkan penyampaian berita dan komunikatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar