BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah pembuat nilai etika. Beberapa filosof, membedakan antara etika dan moral sebagai konsep. Etika dinyatakan sebagai kajian umum dan sistematik tentang apa yang seharusnya menjadi prinsip banar dan salah dari perilaku manusia. Sementara moral atau moralitas adalah standar benar dan salah yang praktis, spesifik, disepakati bersama, dan dialihkan secara kultural. Tetapi filosof lain menggunakan terma-terma etika dan moral dalam pengertian yang bisa saling dipertukarkan (Johannesen, 1996: 1-2).
Dengan demikian, etika suatu masyarakat tentang suatu hal, misalnya tentang komunikasi manusia, bersifat relatif. Artinya hanya berlaku untuk masyarakat tersebut dan tidak mengikat masyarakat-masyarakat lainnya. Bahkan sebagian orang percaya, etika komunikasi bersifat individual, personal, dan subyektif (Wenburg dan Wilmot, 1973: 71-71).
Begitu juga dengan etika bahasa jurnalistik. Setiap negara memiliki sistem ideologi dan sistem politiknya masing-masing. Sistem ideologi dan politik inilah yang kemudian juga melekat dalam sistem pers atau sistem media massa suatu negara yang di dalamnya bersemi etika.
Dalam etika bahasa jurnalistik, komitmen, kapasitas, kualitas, dan kredibilitas suatu media, benar-benar dipertaruhkan. Seorang jurnalis kurang bermoral dari media yang tidak profesional, akan memandang etika bahasa jurnalistik sebagai suatu kemustahilan. Sebalikya seorang jurnalis bermoral dari media profesional, akan melihat etika bahasa jurnalistik sebagai suatu keharusan. Dengan etika, fungsi media tercerahkan dan termuliakan. Tanpa etika, kehadiran suatu media awal dari kehancuran.Berdasarkan hal tersebut maka dalam etika bahasa jurnalistik memiliki pedoman-pedoman yang harus ditaati oleh setiap oraganisasi kejurnalistikan agar untuk tidak keluar dari koridor yuridis, sosiologis, dan koridor etis.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa rumusan masalah yakni sebagai berikut :
a. Apa arti dan definisi etika ?
b. Apa pengertian, ciri dan prinsip bahasa jurnalistik?
c. Apa pengertin etika bahasa jurnalistik ?
d. Apa definisi dan pedoman etika bahasa jurnalistik ?
e. Bagaiamanakah bahasa indonesia ragam jurnalistik?
f. Apa saja penyimpangan bahasa jurnalistik?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Mengetahui arti dan definisi etika.
b. Mengetahui dan memahami pengetian, ciri dan prinsip bahasa jurnalistik.
c. Mengetahui pengertian etika bahasa jurnalistik.
d. Memahami definisi dan pedoman etika bahasa jurnalistik.
e. Mengetahui dan memahami bahasa indonesia ragam jurnalistik.
f. Mengetahui dan memahami penyimpangan bahasa jurnalistik.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Penulis dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang etika bahasa jurnalistik.
b. Pembaca dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang etika bahasa jurnalistik.
c. Penulis dan pembaca dapat memperoleh pengetahuan serta pemahaman tentang pedoman etika bahasa jurnalistik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Arti dan Definisi Etika
Secara etimologis, berdasarkan yang diungkapkan Bertens dalam (Hikmat, 2011) etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, ethikos, yang berarti timbul dari kebiasaan. Ada juga yang mengkategorikan berasal dari kata ethos yang berarti adat atau kebiasaan atau bentuk jamaknya la etha atau ta ethe yang artinya samaadat kebiasaan. Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan. Moral atau moralitas untuk perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Istilah lain yang identik dengan etika adalah susila dan akhlak. Susila (Sansekerta),lebih menunjukan kepada dasar-dasar, prinsip, dan aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak menurut Ruslan dalam (dalam Lastra, 2011).
Menurut Ki Hajar Dewantara, etika adalah ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuan yang dapat merupakan perbuatan.
Menurut K. Bertens, etika dapat dibedakan dalam tiga arti. Pertama, kata etika bisa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika berarti juga kumpulan asas atau niali moral. Maksudnya adalah kode etik. Ketiga, etika adalah ilmu tentang apa yang baik atau buruk.
Dalam hukum dan masyarakat terdapat etika. Jika hukum berbicara tentang peraturan tertulis dan bersifat memaksa, maka etika lebih banyak menyentuh peraturan tidak tertulis sebagai hasil kesepakatan-kesepakatan dalam masyarakat yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Dalam etika tak ada kekuatan yang sifatnya memaksa. Etika berpulang pada hati nurani setiap individu (Sumadiria, 2005: 228).
2.2 Bahasa Jurnalistik
2.2.1 Pengertian Bahasa Jurnalistik
Menurut Jus Badudu dalam (dalam Nina, 2013), bahasa jurnalistik tunduk pada bahasa baku. Bahasa baku ialah bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar wibawanya. Kemudian dalam (dalam Sarwoko, 2007) Jus Badudu menyatakan bahwa bahasa jurnalistik itu harus sederhana, mudah dipahami, teratur, dan efektif. Bahasa yang sederhana dan mudah dipahami berarti menggunakan kata dan struktur kalimat yang mudah dimengerti pemakai bahasa umum. Bahasanya teratur berarti setiap kata dalam kalimat sudah ditempatkan sesuai dengan kaidah. Efektif, bahasa pers haruslah tidak bertele-tele, tetapi tidak juga terlalu berhemat sehingga maknanya menjadi kabur.
Dengan berpijak pada pendapat para pakar dan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang digunakan oleh para wartawan, redaktur, atau pengolah media massa dalam menyusun dan menyajikan, memuat, menyiarkan, dan penayang berita serta laporan peristiwa atau pernyataan yang benar, aktual, penting dan atau menarik dengan tujuan agar mudah dipahami isinya dan cepat ditangkap maknanya.
2.2.2 Ciri Bahasa Jurnalistik
Terdapat 17 ciri utama bahasa jurnalistik yang berlaku untuk semua bentuk media berkala tersebut. yakni sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, populis, logis, gramatikal, menghindari kata tutur, menghindari kata dan istilah asing, pilihan kata. (diksi) yang tepat, mengutamakan kalimat aktif, sejauh mungkin menghindari pengunaan kata atau istilah-istilah teknis, dan tunduk kepada kaidah etika (Sumadiria, 2005:53-61). Berikut perincian penjelasannya.
1. Sederhana
Sederhana berarti selalu mengutamakan dan memilih kata atau. kalimat yang paling banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat heterogen, baik dilihat dari tingkat intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan psikografisnya. Kata-kata dan kalimat yang rumit, yang hanya dipahami maknanya oleh segelintir orang, tabu digunakan dalam bahasa jurnalistik.
2. Singkat
Singkat berarti langsung kepada pokok masalah (to the point), tidak bertele-tele, tidak berputar-putar, tidak memboroskan waktu pembaca yang sangat berharga. Ruangan atau kapling yang tersedia pada kolom-¬kolom halaman surat kabar, tabloid, atau majalah sangat terbatas, sementara isinya banyak dan beraneka ragam. Konsekwensinya apa pun pesan yang akan disampaikan tidak boleh bertentangan dengan filosofi, fungsi, dan karakteristik pers.
3. Padat
Menurut. PatmonoSK, redaktur senior Sinar Harapan dalam buku Teknik Jurnalislik (1996: 45), padat dalam bahasa jurnalistik berarti sarat informasi. Setiap kalimat dan paragrap yang ditulis memuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak pembaca. Ini berarti terdapat perbedaan yang tegas antara kalimat singkat dan kalimat padat. Kalinat yang singkat tidak berarti memuat banyak informasi. Sedangkan kaliamat yang padat, kecuali singkat juga mengandung lebih banyak informasi.
4. Lugas
Lugas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufemisme atau penghalusan kata dan kalimat yang bisa membingunglian khalayak pembaca sehingga terjadi perbedaan persepsi dan kesalahan konklusi. Kata yang lugas selalu menekankan pada satu arti serta menghindari kemungkinan adanya penafsiran lain terhadap arti dan makna kata tersebut.
5.Jelas
Jelas berarti mudah ditangkap maksudnya, tidak baur dan kabur. Sebagai contoh, hitam adalah wara yang jelas. Putih adalah warna yang jelas. Ketika kedua warna itu disandingkan, maka terdapat perbedaan yang tegas mana disebut hitam, mana pula yang disebut putih. Pada. Kedua warna itu sama sekali tidak ditemukan nuansa warna abu-abu. Perbedaan warna hitam dan putih melahirkan kesan kontras. Jelas di sini mengandung tiga arti: jelas artinya, jelas susunan kata atau kalimatnya sesuai dengan kaidah subjek-objek-predikat- keterangan (SPOK), jelas sasaran atau maksudnya.
6.Jernih
Jernih berarti bening, tembus pandang, transparan, jujur, tulus, tidak menyembunyikan sesuatu yang lain yang bersifat negatif seperti prasangka atau fitnah. Sebagai bahan bandingan, kita hanya dapat menikmati keindahan ikan hias arwana atau oscar hanya pada akuarium dengan air yang jernih bening. Oscar dan arwana tidak akan melahirkan pesona yang luar biasa apabila dimasukkan ke dalam kolam besar di persawahan yang berair keruh.
Dalam pendekatan analisis wacana, kata dan kalimat yang jernih berarti kata dan kalimat yang tidak memiliki agenda tersembunyi di balik pemuatan suatu berita atau laporan kecuali fakta, kebenaran, kepentingan public. Dalam bahasa kiai, jermh berarti bersikap berprasangka baik (husnudzon) dan sejauh mungkin menghindari prasangka buruk (suudzon). Menurut orang komunikasi, jernih berarti senantiasa mengembangkan pola piker positif (positive thinking) dan menolak pola pikir negative (negative thinking). Hanya dengan pola pikir positif kita akan dapat melihat semua fenomena dan persoalan yang terdapat dalam masyarakat dan pemerintah dengan kepala dingin, hati jernih dan dada lapang.
Pers, atau lebih luas lagi media massa, di mana pun tidak diarahkan untuk membenci siapa pun. Pers ditakdirkan untuk menunjukkan sekaligus mengingatkan tentang kejujuran, keadilan, kebenaran, kepentingan rakyat. Tidak pernah ada dan memang tidak boleh ada, misalnya hasutan pers untuk meraih kedudukan atau kekuasaan politik sebagaimana para anggota dan pimpinan partai politik.
7. Menarik
Bahasa jurnalistik harus menarik. Menarik artinya mampu membangkitkan minat dan perhatian khalayak pembaca, memicu selera baca, serta membuat orang yang sedang tertidur, terjaga seketika. Bahasa jurnalistik berpijak pada prinsip: menarik, benar, dan baku.
Bahasa ilmiah merujuk pada pedoman: benar dan baku saja. Inilah yang menyebabkan karya-karya ilmiah lebih cepat melahirkan rasa kantuk ketika dibaca daripada memunculkan semangat dan rasa penasaran untuk disimak lebih lama. Bahasa jurnalistik hasil karya wartawan, sementara karya ilmiah hasil karya ilmuwan. Wartawan sering juga disebut seniman.
Bahasa jurnalistik menyapa khalayak pembaca dengan senyuman atau bahkan cubitan sayang, bukan dengan mimik muka tegang atau kepalan tangan dengan pedang. Karena itulah, sekeras apa pun bahasa jurnalistik, ia tidak akan dan tidak boleh membangkitkan kebencian serta permusuhan dari pembaca dan pihak mana pun. Bahasa jurnalistik memang harus provokatif tetapi tetap merujuk kepada pendekatan dan kaidah normatif. Tidak semena-mena, tidak pula bersikap durjana. Perlu ditegaskan salah satu fungsi pers adalah edukatif. Nilai dan nuansa edukatif itu, juga harus tampak pada bahasa jurnalistik pers.
8. Demokratis
Salah satu ciri yang paling menonjol dari bahasa jurnalistik adalah demokratis. Demokratis berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta, atau perbedaan dari pihak yang menyapa dan pihak yang disapa sebagaimana di jumpai dalam gramatika bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Bahasa jurnalistik menekankan aspek fungsional dan komunal, sehingga samasekali tidak dikenal pendekatan feudal sebagaimana dijumpai pada masyarakat dalam lingkungan priyayi dan kraton.
Bahasa jurnalistik memperlakukan siapa pun apakah presiden atau tukang becak, bahkan pengemis dan pemulung secara sama.Kalau dalam berita disebutkan presiden mengatakan, maka kata mengatakan tidak bisa atau harus diganti dengan kata bersabda. Presiden dan pengemis keduanya tetap harus ditulis mengatakan. Bahasa jurnalistik menolak pendekatan diskriminatif dalam penulisan berita, laporan, gambar, karikatur, atau teks foto.
Secara ideologis, bahasa jurnalistik melihat setiap individu memiliki kedudukan yang sama di depan hukum schingga orang itu tidak boleh diberi pandangan serta perlakuan yang berbeda. Semuanya sejajar dan sederajat. Hanya menurut perspektif nilai berita (news value) yang membedakan diantara keduanya. Salah satu penyebab utama mengapa bahasa Indonesia dipilih dan ditetapkan sebagai bahasa negara, bahasa pengikat persatuan dan kesatuan bangsa, karena. bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia memang sangat demokratis. Sebagai contoh, prisiden makan, saya makan, pengemis makan, kambing makan.
9. Populis
Populis berarti setiap kata, istilah, atau kalimat apa pun yang terdapat dalam karya-karya jurnalistik harus akrab di telinga, di mata, dan di benak pikiran khalayak pembaca, pendengar, atau. pemirsa. Bahasa jurnalistik harus merakyat, artinya diterima dan diakrabi oleh semua lapisan masyarakat. Mulai dari pengamen sampai seorang presiden, para pembantu rumah tangga sampai ibu-ibu pejabat dharma wanita. Kebalikan dari populis adalah elitis. Bahasa yang elitis adalah bahasa yang hanya dimengerti dan dipahami segelintir kecil orang saja, terutama mereka yang berpendidikan dan berkedudukan tinggi.
10. Logis
Logis berarti apa pun yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat, atau paragraph jurnalistik harus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan akal sehat (common sense). Bahasa jurnalistik harus dapat diterima dan sekaligus mencerminkan nalar. Di sini berlaku hokum logis. Sebagai contoh, apakah logis kalau dalam berita dikatakan: jumlah korban tewas dalam musibah longsor dan banjir banding itu 225 orang namun sampai berita ini diturunkan belum juga melapor.. Jawabannya tentu saja sangat tidak logis, karena mana mungkin korban yang sudah tewas, bisa melapor?
Menurut salah seorang wartawan senior Kompas dalam bukunya yang mengupas masalah kalimat jumalistik, dengan berbekal kemampuan menggunakan logika (silogisme), seorang wartawan akan lebih jeli menangkap suatu keadaan, fakta, persoalan, ataupun pernyataan seorang sumber berita. Ia akan lebih kritis, tidak mudah terkecoh oleh sumber berita yang mengemukakan peryataan atau keterangan dengan motif-motif tertentu (Dewabrata, 2004:76).
11. Gramatikal
Gramatikal berarti kata, istilah, atau kalimat apa pun yang dipakai dan dipilih dalam bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku. Bahasa baku artinya bahasa resmi sesuai dengan ketentuan tata bahasa serta pedoman ejaan yang disempurnakan berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya. Bahasa baku adalah bahasa yang paling besar pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu bangsa atau kelompok masyarakat. Contoh berikut adalah bahasa jurnalistik nonbaku atau tidak gramatikal: Ia bilang, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 15 persen dari total APBN dalam tiga tahun ke depan. Contoh bahasa jumalistik baku atau gramatikal: Ia mengatakan, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 25 persen dari total APBN dalam lima tahun ke depan.
12. Menghindari kata tutur
Kata tutur ialah kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari secara informal. Kata tutur ialah kata-kata yang digunakan dalam percakapan di warung kopi, terminal, bus kota, atau di pasar. Setiap orang bebas untuk menggunakan kata atau istilah apa saja sejauh pihak yang diajak bicara memahami maksud dan maknanya. Kata tutur ialah kata yang hanya menekankan pada pengertian, sama sekali tidak memperhatikan masalah struktur dan tata bahasa. Contoh kata-kata tutur: bilang, dilangin, bikin, diksih tahu, mangkanya, sopir, jontor, kelar, semangkin.
13. Menghindari kata dan istilah asing
Berita ditulis untuk dibaca atau didengar. Pembaca atau pendengar harus tahu arti dan makna setiap kata yang dibaca dan didengarnya. Berita atau laporan yang banyak diselipi kata-kata asing, selain tidak informatif dan komunikatif juga membingungkan.
Menurut teori komunikasi, khalayak media massa anonym dan heterogen. tidak saling mengenal dan benar-benar majemuk, terdiri atas berbagai suku bangsa, latar belakang sosial-ekonomi, pendidikan, pekerjaan, profesi dan tempat tinggal. Dalam perspektif teori jurnalistik, memasukkan kata atau istilah asing pada berita yang kita tulis, kita udarakan atau kita tayangkan, sama saja dengan sengaja menyebar banyak duri di tengah jalan. Kecuali menyiksa diri sendiri, juga mencelakakan orang lain.
14. Pilihan kata (diksi) yang tepat
Bahasa jurnalistik sangat menekankan efektivitas. Setiap kalimat yang disusun tidak hanya harus produktif tetapi juga tidak boleh keluar dari asas efektifitas. Artinya setiap kata yang dipilih, memang tepat dan akurat sesuai dengan tujuan pesan pokok yang ingin disampaikan kepada khlayak. Pilihan kata atau diksi, dalam bahasa jurnalistik, tidak sekadar hadir sebagai varian dalam gaya, tetapi juga sebagai suatu keputusan yang didasarkan kepada pertimbangan matang untuk mencapai efek optimal terhadap khalayak.
Pilihan kata atau diksi yang tidak tepat dalam setiap kata jurnalistik, bisa menimbulkan akibat fatal. Seperti ditegaskan seorang pakar bahasa terkemuka, pengertian pilihan kata atau diksi jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata itu. Istilah ini bukan saja digunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan.
Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya, atau yang menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik, atau yang memiliki nilai arstistik yang tinggi (Keraf, 2004:22-23).
15. Mengutamakan kalimat aktif
Kalimat akiff lebih mudah dipahami dan lebih disukai oleh khalayak pembaca daripada kalimat pasif. Sebagai contoh presiden mengatakan, bukan dikatakan oleh presided.Contoh lain, pencuri mengambil perhiasan dari dalam almari pakaian, dan bukan diambilnya perhiasan itu dari dalam almari pakaian oleh pencuri. Bahasa jurnalistik harus.jelas susunan katanya, dan kuat maknanya (clear and strong). Kalimat aktif lebih memudahkan pengertian dan memperjelas pemahaman. Kalimat pasif sering menyesatkan pengertian dan mengaburkan pemahaman.
16. Menghindari kata atau istilah teknis
Karena ditujukan untuk umum, maka bahasa jurnalistik harus sederhana, mudah dipahami, ringan dibaca, tidak membuat kening berkerut apalagi sampai membuat kepala berdenyut. Salah satu cara untuk itu ialah dengan menghindari penggunaan kata atau istilah-istilah teknis. Bagaimanapun kata atau istilah teknis hanya berlaku untuk kelompok atau komunitas tertentu yang relatif homogen. Realitas yang homogen, menurut perspektif filsafat bahasa tidak boleh dibawa ke dalam realitas yang heterogen. Kecuali tidak efelitf, juga mengandung unsur pemerkosaan.
Sebagai contoh, berbagai istilah teknis dalam dunia kedokteran, atau berbagai istilah teknis dalam dunia mikrobiologi, tidak akan bisa dipahami maksudnya oleh khalayak pembaca apabila dipaksakan untuk dimuat dalam berita, laporan, atau tulisan pers. Supaya mudah dicerna dan mudah dipahami maksudnya, maka istilah-istilah teknis itu harus diganti dengan istilah yang bisa dipahami oleh masyarakat umum. Kalaupun tak terhindarkan, maka istilah teknis itu harus disertai penjelasan dan ditempatkan dalam tanda kerung.
Surat kabar, tabloid, atau majalah yang lebih banyak memuat kata atau istilah teknis, mencerminkan media itu :
o kurang melakukaii pembinaan dan pelatihan terhadap wartawannya yang malas,
o tidak memiliki editor bahasa,
o idak memiliki buku panduan peliputan dan penulisan berita serta laporan, atau
o tidak memiliki sikap profesional. dalam mengelola penerbitan pers yang berkualitas.
17. Tunduk kepada kaidah etika
Salah satu fungsi utama pers adalah edukasi, mendidik (to educated), Fungsi ini bukan saja harus, tercermin pada materi isi berita, laporan, gambar, dan artikel-aritikelnya, melainkan juga harus tampak pada bahasanya. Pada bahasa tersimpul etika. Bahasa tidak saja mencerminkan pikiran tapi sekaligus juga menunjukkan etika orang itu.
2.2.3 Prinsip Dasar Bahasa Jurnalistik
Penggunaan bahasa jurnalistik itu tidak boleh sembarangan. Melainkan harus berdasarkan kaidah-kaidah dari bahasa Indonesia itu sendiri. Dan sesuai prinsip-prinsip dasar dalam bahasa jurnalistik yang telah ditentukan.
Dalam bahasa jurnalistik ada empat prinsip retorika tekstual yang dikemukakan oleh Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dan prinsip ekspresifitas.
1. Prinsip Prosesibilitas
Prinsip ini merupakan suatu proses dimana penulis harus memahami dari pesan yang akan disampaikan. Sehingga pembaca dapat mudah memahaminya, maka di sini penulis harus menentukan beberapa hal yaitu:
o Bagaimana membagi pesan-pesan menjadi satuan.
o Bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masing satuan tersebut.
o Bagaiman mengurutkan satuan-satuan pesan tersebut.
Ketiga hal di atas akan saling berkaitan. Penyusunan bahasa jurnalistik dengan menerapkan bahasa Indonesia yang baik itu harus cepat menimbulkan pemahaman pembaca dalam kondisi apapun tentang fakta atau berita yang disampaikan. Sehingga, prinsip prosesibilitas ini tidak terlanggar.
2. Prinsip Kejelasan
Yaitu prinsip dimana penulis dituntut agar teks dapat mudah dipahami oleh pembaca. Dengan menganjurkan agar bahasa teks menghindari ketaksaan (abiguity) sehingga mudah dipahami.
3. Prinsip Ekonomi
Yaitu teks harus ditulis sesingkat mungkin tanpa harus merusak dan mereduksi pesan.
4. Prinsip Ekspresivitas
Pinsip ini disebut pula dengan prinsip ikonisitas. Yang mana prinsip ini menganjurkan agar teks dikonstruksi selaras dengan aspek-aspek pesan.
Maka dari itu untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut tentunya diperlukan latihan berbahasa tulis secara terus-menerus. Serta melakukan penyuntingan tanpa pernah berhenti. Dengan demikian keinginan jurnalis untuk menyajikan ragam bahasa jurnalistik yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang telah ditetapkan dan mudah dimengerti oleh masyarakat serta memuaskan pembacanya akan bisa diwujudkan.
2.3 Definisi dan Pedoman Etika Bahasa Jurnalistik
2.3.1 Definisi Etika Bahasa Jurnalistik
Etika bahasa jurnalistik ialah segala hal nan bersinggungan dengan proses perencanaan, aplikasi dan supervisi segala hal nan berhubungan dengan aktivitas jurnalistik. Yaitu, diawali dengan peliputan, penyajian, pemuatan, penyiaran dan penayangannya di media.
Jika digambarkan, sejatinya aktivitas seorang jurnalis ialah ia langsung turun ke lapangan. Setelah itu, ia menemui dan mewancarai narasumber sembari mengamati situasi di sekitarnya. Saat terjadinya wawancara, maka jurnalis mesti merekam atau mencatat jalannya wawancara. Setelah selesai melakukan wawancara, maka ia mesti bergegas menuju kantor. Sesampai di kantor, ia langsung menuju mejanya di ruang redaksi. Ia menghidupkan komputer dan meracik hasil wawancaranya.
Dalam hitungan menit, sebuah warta nan layak terbit dan aktual sudah selai diracik dan siap buat dimuat. Namun sebelum warta diterbitkan, jurnalis mesti mengirimkannya kepada redaktur buat diperiksa apakah sudah layak terbit dan memenuhi struktur bahasa jurnalistik atau tidak. Dengan sistem online, para jurnalis tak perlu susah-susah lagi mondar mandir ke meja redaktur. Tinggal kirim via email, akan mendapatkan pandangan dari redaktur. Apakah mesti ada penambahan, pengurangan atau sudah cukup?
Di sinilah letaknya etika bahasa jurnalistik. Para redaktur menilai bahasa jurnalistik nan diracik oleh para jurnalis. Karena ada kata-kata nan lunak agar menarik perhatian pembaca mesti diubah menjadi menjadi kata-kata nan keras, namun tetap saja harus sinkron dengan kode etik profesi.
Bahasa bagi seorang jurnalis ialah senjata dan kata-katanya ialah peluru. Karena itu, ia tak boleh sembarang mengubah hasil wawancaranya. Seorang jurnalis tak boleh menggunakan senjatanya buat membunuh orang lain. Ia hanya boleh menggunakan senjatanya hanya buat mencerdaskan dan memuliakan masyarakat serta membela dan menjunjung tinggi kehormatan bangsa. Karena itu, sungguh tepat ungkapan nan menyatakan bahwa seorang jurnalis pada dasarnya ialah seorang nasionalis. Ia mencintai negeri, bangsa dan profesi melibihi kecintaannya kepada isterinya.
2.3.2 Pedoman Etika Bahasa Jurnalistik
Sudah diatur dalam etika jurnalistik, bahwa jurnalis dan pengelola media massa buat tak keluar dari koridor yuridis, sosiologis, dan koridor etis. Dalam buku Hukum dan Etika Pers disebutkan bahwa koridor yuridis buat pers sudah diatur dalam UU Pokok Pers No. 40/1999. Sedangkan buat media penyiaran radio dan televisi sudah diatur dalam UU Pokok Penyiaran No. 32/2002.
Koridor sosiologis juga sudah dibakukan dalam enam landasan pers nasional. Koridor etis buat sebagian sudah dibakukan dalam pelbagai ketentuan dan panduan standar seperti kode etik jurnalistik dan kode etik praktik media massa. Tapi buat sebagian lagi, senantiasa inheren dalam kebijakan redaksional media dan pegangan personal-spritual jurnalis.
Etika bahasa jurnalistik menjadi panduan setiap jurnalis buat memperhatikan serta tunduk pada kaidah bahasa media massa. Teori jurnalistik mengajarkan, bahwa bahasa media massa ialah salah satu ragam bahasa nan khas sebab senantiasa dipadukan dengan ciri media beserta pembacanya nan anonim dan heterogen.
Penting menjadi catatan, bahwa bahasa jurnalistik media massa juga mengikuti alur logika teknis. Maksudnya, penulisan judul dan tubuh berita, harus disesuaikan dengan besar-kecil ruangan (new space) nan tersedia. Jadi, bahasa jurnalistik tak semata bicara logika, struktur dan makna saja. Namun bahasa jurnalistik juga memperhatikan unsur-unsur sistematika.
Makanya para jurnalis ketika menulis selalu memperhatikan dan menghitung jumlah kata dalam setiap judul dan setiap berita. Meski demikian, para jurnalis tetap harus menjaga kualitas dan kuantitas bahasa.
Melalui pengkajian terhadap pendidikan jurnalistik ini, kita jadi memahami bahwa seorang jurnalis mesti terampil berbahasa. Keterampilan berbahasanya harus memiliki empat komponen. Yaitu, keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca dan keterampilan menulis. Setiap keterampilan berhubungan erat dengan tiga keterampilan lainnya dengan cara nan beraneka ragam.
Dengan bahasa lebih mendalam, setiap keterampilan sangat berhubungan erat dengan proses-proses nan mendasari bahasa. Karena bahasa seseorang mencerminkan pikirannya.
Sehingga semakin terampil seorang jurnalis dalam berbahasa, semakin cerah dan jelas juga jalan pikirannya. Karena itu, ketrampilan hanya diperoleh dengan banyak praktik dan berlatih. Melatih ketrampilan berbahasa juga akan melatih keterampilan berpikir.
Singkatnya, bahasa menjadi pandu empiris sosial. Karena pandangan seseorang tentang global dibentuk oleh bahasa. Dan sebab bahasa juga, pandangan seseorang terhadap global pun akan mengalami perbedaan. Makanya, tidak perlu heran kenapa media dapat berbeda dalam berbahasa. Ada nan bahasanya halus dan santun. Ada pula nan keras dan tak sopan.
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), sebagai salah satu organisasi profesi tertua dan terbesar di Indonesia, tak terkecuali terikat pula dengan kewajiban serta ketentuan tersebut. Itulah sebabnya, dalam kurun waktu 1977-1979, PWI bekerja sama dengan beberapa lembaga di dalam dan luar negeri, menyelenggarakan pelatihan wartawan. Hasilnya dituangkan dalam sejumlah pedoman penulisan antara lain:
1. Pedoman pemakaian bahasa dalam pers
Ada sepuluh pedoman pemakaian bahasa dalam pers, yaitu:
a. Wartawan hendaknya secara konsekuen melaksanakan pedoman ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD).
b. Wartawan hendaknya membatasi diri dalam singkatan atau akronim.
c. Wartawan hendaknya tidak menghilangkan imbuhan, bentuk awal atau prefiks.
d. Wartawan hendaknya menulis dengan kalimat-kalimat pendek.
e. Wartawan hendaknya menjauhkan diri dari ungkapan klise atau stereotype yang sering dipakai dalam transisi berita seperti kata-kata sementara itu, dapat ditambahkan, perlu diketahui, dalam rangka.
f. Wartawan hendaknya menghilangkan kata mubazir seperti adalah, telah, untuk, dari, bahwa dan bentuk jamak yang tidak perlu diulang.
g. Wartawan hendaknya mendisiplinkan pikirannya supaya jangan campur aduk dalam satu kalimat bentuk pasif dengan bentuk aktif.
h. Wartawan hendaknya menghilangkan kata-kata asing dan istilah-istilah terlalu teknis ilmiah dalam berita.
i. Wartawan hendaknya sebisa mungkin mentaati kaidah tata bahasa.
j. Wartawan hendaknya ingat bahasa jurnalistik ialah bahasa yang komunikatif dan spesifik sifatnya, dan karangan yang baik dinilai dari tiga aspek yaitu, isi, bahasa, dan teknik persembahan.
2. Pedoman penulisan teras berita
Ada sepuluh pedoman penulisan teras berita, sebagai berikut:
a. Teras berita pada alinea pertama mencerminkan pokok terpenting berita.
b. Teras berita dengan mengingat sifat bahasa Indonesia, jangan mengandung lebih dari antara 30 sampai 40 perkataan.
c. Teras harus ditulis dengan : mudah ditangkap dan cepat dimengerti, mudah diucapkan di depan radio dan televisi serta mudah dimengerti, kalimat-kalimatnya singkat, sederhana susunannya dengan mengindahkan bahasa baku serta ekonomi bahasa, menjauhkann kata-kata mubazir, satu gagasan dalam satu kalimat
d. Hal sabagai pelengkap dimuat dalam berita.
e. Teras berita mengutamakan unsur yang terjadi. Misalnya persoalan apa yang terjadi.
f. Dapat dimulai dengan unsur siapa.
g. Jarang menggunakan unsur bilamana.
h. Urutan tempat baru disusul urutan waktu.
i. Unsur bagaimana dan mengapa di uraikan dalam badan berita.
j. Dapat dimulai dengan kutipan pernyataan seseorang, asal kutipan itu tidak panjang.
3. Pedoman penulisan bidang hukum.
4. Pedoman penulisn bidang agama.
5. Pedoman penulisan bidang koperasi.
6. Pedoman penulisan bidang pertanian dan perburuhan
2.4 Bahasa Indonesia Ragam Jurnalistik
2.4.1 Berpedoman pada Bahasa Baku
Bahasa jurnalistik yang ditulis dalam bahasa Indonesia juga harus dapat dipahami oleh pembaca di seluruh nusantara. Bahasa Indonesia juga mengenal berbagai ragam bahasa, termasuk dialek. Bila surat kabar, majalah, tabloid, dan sebagainya menggunakan bahasa Indonesia dengan salah satu dialek tertentu, besar kemungkinannya tulisan dalam surat kabar/majalah tersebut tidak dapat dipahami oleh pembaca di seluruh nusantara. Seperti dikemukakan oleh J.S. Badudu, -- bahasa baku, baik lisan maupun tulisan dipakai oleh golongan masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar wibawanya.
Contohnya:
PLN sebagai penyedia layanan publik tentu harus bertanggung jawab atas kerugian itu. Terlebih-Iebih, sumber kerusakan sebenamya sudah diketahui empat hari sebelumnya, bahkan hari pemadaman pun sudah direncanakan dan diatur PLN. (Republika, 23 Mei 1997)
Bahasa Indonesia baku itulah yang seharusnya digunakan dalam bahasa jumalistik agar dapat dipahami oleh pembaca di seluruh tanah air. Karena itu, bahasa jurnalistik sama sekali tidak berbeda dengan bahasa Indonesia baku, bahasa Indonesia yang digunakan dalam komunikasi resmi: pidato resmi kenegaraan, surat-menyurat resmi, menulis laporan resmi, menulis buku ajar, makalah (paper), skripsi, tesis, disertasi, undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya. Jadi, kalau pada kenyataannya ada sedikit perbedaan antara bahasa jurnalistik dengan bahasa Indonesia baku, bukan pada hakikatnya memang hams berbeda. Akan tetapi, perbedaan itu lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat teknis di samping kurangnya kemampuan berbahasa para jurnalis dan redaktur surat kabar yang bersangkutan, seperti telah disinggung di muka.
2.4.2 Bahasa yang Digunakan Efektif dan Efisien
Bahasa yang efektif ialah bahasa yang mencapai sasaran yang dimaksudkan (Moeliono, 1993: I). Bahasa Indonesia jurnalistik yang efektif membuahkan hasil atau efek yang diharapkan pembicaraan karena cocok atau relevan dengan peristiwa atau sesuai dengan keadaan yang menjadi latarnya. Bahasa Indonesia jurnalistik yang efisien ialah bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku, dengan mempertimbangkan mh~' ukuran umum, yang mengatasi varlasi dialek atau idiolek (perseorangan), bagi pemakaian bahasa yang benar dan patut menjadi contoh untuk diikuti. Hoed (1977: 3) dalam penelitiannya tentang "Kata Mubazir dalam Surat Kabar Harlan Berbahasa Indonesia" menyatakan, usaha mencapai efisiensi didasarkan pada probabilitas munculnya suatu kata dalam konteks tertentu (probability of accurance).
2.5 Penyimpangan Bahasa Jurnalistik
Meskipun bahasa jurnalistik mengikuti kaidah bahasa Indonesia yang telah ditentukan, namun masih terlihat penyimpangan terhadap kaidah bahasa jurnalistik yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Demikian pula penyimpangan mengenai tataran tanda baca. Penyimpangan bahasa jurnalistik ini sepertinya menjadi hal yang lazim, sehingga bahasa jurnalistik dianggap sebagai perusak bahasa Indonesia. Mestinya bahasa junalistik tetap harus mengacu pada kaidah bahasa yang telah baku, karena media massa sangat erat kaitannya dengan masyarakat.
Adapun beberapa penyimpangan bahasa jurnalistik dari kaidah bahasa Indonesia baku, yaitu:
1. Penyimpangan Klerikal (Ejaan dan Tanda Baca)
Kesalahan ini sering kali kita temukan dalam media massa, baik dalam penulisan kata, seperti Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis kuatir, jadwal ditulis jadual, sinkron ditulis singkron. Dan kesalahan tanda baca juga dapat ditemui dalam penggunaan tanda titik, tanda koma, tanda hubung, dan lain-lain.
Berikut ada beberapa kata yang sering salah ejaannya dalam media massa diantaranya yaitu:
Baku
|
Nonbaku
|
Baku
|
Nonbaku
|
Iktikad
|
Itikad
|
Rezeki
|
Rejeki
|
Analisis
|
Analisa
|
Jagat
|
Jagad
|
Zaman
|
Jaman
|
Riil
|
Riel
|
Aksesori
|
Asesoris
|
Jenderal
|
Jendral
|
Asasi
|
Azasi
|
Karier
|
Karir
|
Dividen
|
Deviden
|
Miliar
|
Milyar
|
Guncang
|
Goncang
|
survei
|
Survai
|
Hektare
|
Hektar
|
omzet
|
Omset
|
Izin
|
Ijin
|
penasihat
|
Penasehat
|
Yodium
|
Iodium
|
apotek
|
Apotik
|
Elite
|
Elit
|
tekad
|
Tekat
|
Bonafide
|
Bonafid
|
nekat
|
Nekad
|
Maka dalam memilih ejaan kata yang tepat kita harus memerlukan sedikit ketelitian. Karena bahasa Indonesia banyak memiliki bentuk kembar, seperti kata risiko-resiko, sekadar-sekedar, Senin-Senen, film-pilem, juang-joang. Memang kata-kata seperti itu sering kali membuat kita bingung dan akhirnya kita membuat kesalahan dalam penulisannya. Biasanya hal ini dikarenakan adanya pengaruh dari bahasa daerah. Maka kita harus memilih ejaan yang sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan.
2. Penyimpangan Gramatikal
Penyimpangan gramatikal ini terdiri atas:
a. Kesalahan Pemenggalan
Kesalahan pemenggalan kata dalam media massa terkesan asal penggal saja. Hal ini dikarenakan pemenggalannya menggunakan program komputer bahasa asing. Dal hal ini bisa diatasi dengan program pemenggalan bahasa Indonesia.
b. Penyimpangan Morfologis
Penyimpangan ini sering dijumpai pada judul berita dalam media massa yang menggunakan kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan penghilangan afiks. Afiks pada kata kerja yang berupa prefiks atau awalan dihilangkan. Misalnya: “Muluskan Boediono, Lobi Komisi IX”, “Cemburu, Pelajar Bunuh Pelajar”, “Ngaku Buat Jaga Diri Bapak-Bapak Ditangkep Pulisi Karena Bawa Sajam”.
c. Kesalahan Sintaksis
Kesalahan ini yaitu berupa pemakaian tata bahasa atau struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan arti dari kalimat tersebut. Hal ini disebabkan karena logika penulis yang kurang bagus. Contoh: “Kerajinan Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya Ke Amerika Serikat”. Judul tersebut seharusnya ditulis, “Hasil Kerajinan Desa Kasongan Banyak Diekspor Ke Amerika Serikat”.
3. Penyimpangan Semantik
Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan (eufemisme) atau menimbulkan dampak buruk pemberitaan dan untuk melebih-lebihkan (bombastis). Contoh: Penyesuaian tarif BBM merupakan kebijakan pemerintah yang tidak populis. Pemakaian kata penyesuaian tarif, tidak dapat dimaknai dari segi makna lugas saja melainkan juga harus dilihat dari makna figuratif (kias) yang mengandung eufimismedengan alasan kesopanan.
4. Penyimpangan Dari Aspek Kewacanaan
Penyimpangan ini dapat diketahuai dari aspek kewacanaan dari penggunaan bahasa yang dilihat dari makna bahasa yang berkaitan dengan aktivitas dan sistem-sistem di luar bahasa. Contoh penyimpangan dari aspek kewacanaan ini yaitu berita tentang tragedi kematian Munir (Pejuang HAM). Meski pelaku dan dalang pembunuhnya belum ditemukan, namun media massa telah membentuk opini masyarakat tentang para pelakunya. Pemberitaan tersebut memiliki pendapat yang berbeda dari masing-masing media sehingga menjadikan isi berita menjadi tidak realistis. Bahkan, terlalu dibesar-besarkan sehingga membuat para pembacanya bingung.
Permasalahan yang muncul adalah masalah peminjaman istilah-istilah atau kata-kata asing yang pada dasarnya sudah populer di masyarakat. Penggunaan istilah asing tersebut telah bertaburan di media massa. Tetapi, penggantian istilah asing yang tidak ada penggantinya dalam bahasa Indonesia akan menimbulkan kesulitan.
Untuk menghindari kesalahan-kesalahan tersebut, maka perlu dilakukan penyuntingan atau editing baik menyangkut pemakaian kalimat, pilihan kata, ejaan, serta pemakaian bahasa jurnalistikyang baik secara umum. Agar penulis atau wartawan mampu memilih kosakata yang tepat, maka mereka dapat memperkaya kosakata dengan latihan penambahan kosakata dengan teknik sinonimi, dan antonimi. Dalam teknik sinonimi penulis dapat mensejajarkan kelas kata yang sama, yang nuansa maknanya sama atau berbeda. Dalam teknik antonimi penulis bisa mendaftar kata-kata dan lawan katanya.
Dengan demikian,penulis atau wartawan bisa memilih kosakata yang memiliki rasa dan bermakna bagi pembaca. Sementara dalam penyuntingan bahasa jurnalistik terdapat beberapa prinsip yang dilakukan:
1. Balancing, yaitu menyangkut lengkap-tidaknya batang tubuh dan data tulisan.
2. Visi tulisan seorang penulis yang mereferensi pada penguasaan atas data-data yang aktual.
3. Logika cerita yang mereferensi pada kecocokan.
4. Akurasi data.
5. Kelengkapan data, setidaknya prinsip 5W1H.
6. Panjang pendeknya tulisan karena keterbatasan halaman.
Oleh karena itu diperlukan latihan menulis secara terus-menerus, dan latihan penyuntingan yang berkelanjutan. Dengan upaya pelatihan dan penyuntingan tersebut, maka diharapkan seorangjurnalis dapat menyajikan ragam bahasa jurnalistik yang memiliki rasa dan memuaskan selera pembacanya, pendengarnya, atau penontonnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Etika bahasa jurnalistik menjadi pedoman setiap jurnalis atau para pengelola medis massa untuk memperhatikan serta tunduk kepada kaidah bahasa media massa. Dalam etika bahasa jurnalistik, komitmen, kapasitas, kualitas, dan kredibilitas suatu media, benar-benar dipertaruhkan. Seorang jurnalis kurang bermoral dari media yang tidak profesional, akan memandang etika bahasa jurnalistik sebagai suatu kemustahilan. Sebalikya seorang jurnalis bermoral dari media profesional, akan melihat etika bahasa jurnalistik sebagai suatu keharusan. Dengan etika, fungsi media tercerahkan dan termuliakan. Tanpa etika, kehadiran suatu media awal dari kehancuran.
3.2 Saran
Makalah ini diharapkan dapat membantu dan menambah wawasan bagi para pembaca untuk mengetahui lebih jauh mengenai etika bahasa jurnalistik. Dalam penulisan makalah ini tentulah mempunyai banyak kekurangan yang perlu dilengkapi oleh pembaca yang memiliki disiplin ilmu tentang pembahasan ini. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Johannesen, Richrad. L. 1996. Etika Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Sumadiria, AS Haris. 2005.BahasaJurnalistik. Bandung: Simbiosa.
Sarwoko, Tri Adi. 2007. Inilah Bahasa Indonesia Jurnalistik. Yogyakarta : ANDI.
Hikmat, Mahi M. 2011. Etika dan Hukum Pers :Menghirup Kebebasan Berhindar dari Penodaan terahadap Martabat Agama. Bandung : Batic Press.
http://dedikbaihaqi.blogspot.com/2015/12/analisis-gaya-bahasa-berdasarkan-teori.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar